
Oleh : Dharma Leksana, S.Th., M.Si. – Ketua Umum Perkumpulan Wartawan Gereja Indonesia (PWGI)
Jakarta, Revolusi industri keempat, yang ditandai dengan masifnya perkembangan Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan, telah mengubah lanskap kehidupan manusia secara fundamental. AI tidak lagi menjadi fiksi ilmiah, melainkan telah merasuk ke berbagai aspek kehidupan, mulai dari pekerjaan, pendidikan, hiburan, hingga relasi sosial. Kepungan AI ini menghadirkan peluang sekaligus tantangan bagi berbagai institusi, termasuk Gereja. Di satu sisi, AI menawarkan potensi untuk meningkatkan efisiensi dan jangkauan pelayanan Gereja. Namun di sisi lain, AI juga memunculkan pertanyaan mendasar tentang nilai-nilai kemanusiaan, spiritualitas, dan peran Gereja di era digital.
Artificial Intelligence (AI) : Pedang Bermata Dua bagi Gereja
Tidak dapat dipungkiri, AI membawa sejumlah manfaat yang dapat dimanfaatkan oleh Gereja. AI dapat membantu dalam:
- Pelayanan pastoral: AI dapat digunakan untuk menganalisis data jemaat, mengidentifikasi kebutuhan spiritual, dan memberikan dukungan yang lebih personal. Contohnya, chatbot AI dapat memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan umum tentang iman atau memberikan dukungan emosional awal.
- Pendidikan agama: Platform pembelajaran berbasis AI dapat menyediakan materi pendidikan agama yang interaktif dan personalisasi, menjangkau lebih banyak orang dengan cara yang menarik.
- Administrasi Gereja: AI dapat mengotomatiskan tugas-tugas administratif seperti penjadwalan, pengelolaan keuangan, dan komunikasi, sehingga sumber daya Gereja dapat dialokasikan lebih efektif untuk pelayanan inti.
- Jangkauan Misi: AI dapat membantu Gereja menjangkau komunitas yang lebih luas melalui platform digital, menerjemahkan materi ke berbagai bahasa secara otomatis, dan menganalisis tren sosial untuk merancang strategi misi yang lebih efektif.
Namun, di balik potensi tersebut, AI juga menghadirkan tantangan serius bagi Gereja:
- Dehumanisasi: Ketergantungan berlebihan pada AI dapat mengurangi interaksi manusiawi yang merupakan esensi dari komunitas Gereja. Relasi tatap muka, percakapan mendalam, dan empati, yang menjadi fondasi pelayanan pastoral, bisa tergerus oleh interaksi dengan mesin.
- Erosi Nilai Spiritual: Fokus pada efisiensi dan rasionalitas yang ditawarkan AI dapat mengaburkan nilai-nilai spiritualitas, seperti kontemplasi, doa, dan pengalaman transenden. Iman bukanlah sekadar informasi yang dapat diproses oleh algoritma, melainkan pengalaman relasi dengan Tuhan yang melibatkan hati dan jiwa.
- Dilema Etika: Penggunaan AI dalam Gereja memunculkan pertanyaan etika yang kompleks. Siapa yang bertanggung jawab atas keputusan yang diambil oleh AI? Bagaimana memastikan algoritma AI tidak bias atau diskriminatif? Bagaimana melindungi data pribadi jemaat di era digital?
- Kesenjangan Digital: Tidak semua jemaat memiliki akses atau kemampuan yang sama dalam menggunakan teknologi AI. Hal ini dapat memperlebar kesenjangan digital di dalam Gereja dan menciptakan eksklusi bagi kelompok tertentu.
Solusi: Gereja yang Relevan di Era AI
Menghadapi kepungan Artificial Intelligence (AI), Gereja tidak boleh bersikap reaktif atau defensif, melainkan proaktif dan transformatif. Berikut beberapa solusi yang dapat dipertimbangkan:
- Memperkuat Fondasi Teologis dan Etika: Gereja perlu merumuskan teologi dan etika yang relevan untuk era AI. Ini melibatkan refleksi mendalam tentang hakikat manusia, citra Allah, keadilan, kasih, dan tanggung jawab dalam konteks teknologi. Gereja harus menjadi suara profetik yang mengingatkan dunia tentang bahaya dehumanisasi dan erosi nilai-nilai spiritual akibat AI.
- Mengedepankan Sentuhan Manusiawi: Di tengah dunia yang semakin digital, Gereja harus menjadi oasis sentuhan manusiawi. Memperkuat komunitas, membangun relasi yang otentik, menyediakan ruang untuk percakapan mendalam, dan mempraktikkan empati adalah kunci untuk melawan dehumanisasi yang mungkin diakibatkan oleh AI. Pelayanan pastoral harus tetap mengutamakan kehadiran fisik, pendengaran aktif, dan dukungan personal.
- Literasi Digital dan Kritis: Gereja perlu membekali jemaat dengan literasi digital yang memadai. Ini bukan hanya tentang kemampuan menggunakan teknologi, tetapi juga tentang kemampuan berpikir kritis terhadap AI, memahami implikasinya secara sosial, etika, dan spiritual. Jemaat perlu diajak untuk bijak dan bertanggung jawab dalam menggunakan teknologi AI.
- Memanfaatkan AI secara Bijak dan Terukur: Gereja tidak perlu menolak AI sepenuhnya, tetapi memanfaatkannya secara bijak dan terukur untuk meningkatkan pelayanan. AI harus menjadi alat bantu, bukan pengganti peran manusia. Prioritaskan penggunaan AI untuk tugas-tugas administratif atau pelayanan yang sifatnya repetitif, sementara pelayanan pastoral yang membutuhkan sentuhan hati dan kebijaksanaan manusia tetap menjadi fokus utama.
- Kolaborasi dan Dialog: Gereja perlu membangun kolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk ilmuwan AI, ahli etika, pemerintah, dan organisasi masyarakat sipil, untuk memahami perkembangan AI dan dampaknya secara komprehensif. Dialog terbuka dan konstruktif diperlukan untuk merumuskan kebijakan dan praktik penggunaan AI yang etis dan bertanggung jawab.
Kepungan Artificial Intelligence (AI) adalah realitas yang tidak dapat dihindari. Gereja memiliki peran penting untuk menavigasi era ini dengan bijak dan iman. Dengan memperkuat fondasi teologis dan etika, mengedepankan sentuhan manusiawi, meningkatkan literasi digital, memanfaatkan AI secara bijak, dan membangun kolaborasi, Gereja dapat tetap relevan dan menjadi berkat di tengah perubahan zaman. Solusi utama bukanlah menolak AI, melainkan mengintegrasikannya dengan nilai-nilai Injil, sehingga teknologi ini benar-benar menjadi alat untuk kemuliaan Tuhan dan kesejahteraan umat manusia. (Mas Dharma EL)
“SOLI DeO GLORIA !!”